Belajar Dari Mas Hambali Rasidi yang Siap Dihina

oleh
oleh
Hambali Rasidi, Wartawan Senior

Oleh : Achmad

DAMAIRA.CO.ID, SUMENEP-Beberapa hari terakhir, aku menyimak riak-riak kecil yang menggemuruh —Diskusi panas antara Mas Hambali dan Fauzi AS tentang BSPS. Di tengah gelombang yang mengombang-ambingkan citra dan klaim, Ada satu sosok yang memilih diam… dan merunduk. Mas Hambali—ia justru membuka dadanya, Mengungkapkan aibnya sendiri ke ruang publik, Bukan untuk mencari simpati, Tapi seolah berkata: “Jika harus dihina, aku rela.”

Di seberangnya, Fauzi AS berdiri lantang, Menantang dunia dengan sayembara ratusan juta rupiah, Membela nama, menjaga harga, merawat citra. Tapi Mas Hambali memilih jalan sunyi, Yang justru paling bising dalam batin kami— Sebuah keberanian telanjang yang menyentuh, Sebuah kejujuran yang tak bersayap, Ia berkata padaku dengan tenang:

“Saya lebih senang dihina, daripada dipuja-puja.”

Dan aku tertegun. Di dunia yang memburu pengakuan dan pencitraan, Mas Hambali seperti burung tua yang tak ikut arus angin.

Ia tahu bahwa sorotan bisa membakar, Dan pujian seringkali menjerumuskan. Dalam wajahnya yang tenang, dalam senyum yang mengerti, Ia menyimpan ribuan jalan yang tak diambil— Jalan menuju kekayaan, kuasa, dan pamor—Semua ditinggalkan demi sebuah rasa cukup, dan takut pada Tuhan. Ia pernah dekat dengan lingkaran kuasa, Bersentuhan dengan peluang emas dan nama besar. Namun ia memilih menjadi pengamat, bukan pemain. Memilih menulis dengan jujur, bukan menjilat. Ia tak tercatat dalam daftar kaya, Tapi tercatat di hati mereka yang tahu arti kehormatan.

Mas Hambali—sang wartawan, sang pejalan sunyi—Sering datang dengan sepeda listriknya, Kadang membawa tape, katanya hanya iseng berjualan. Terkadang, tape itu dibagikan gratis di warung-warung, Bukan karena berlimpah, Tapi karena hatinya tak sempit.

Ia sosok yang membingungkan: Menjengkelkan sekaligus menggemaskan, Menyebalkan sekaligus mencerdaskan. Namun saat ia bicara dari kedalaman, Kata-katanya mengalir seperti air zam-zam—Menyejukkan hati yang kering, Menajamkan jiwa yang kabur arah. “Kenapa kita cuma dapat kontrak kecil?”

Katanya padaku malam itu. “Mungkin ini cara Allah menyelamatkan kita.” Aku terdiam. Karena di balik ucapannya, Ada ketundukan yang indah, Ada tauhid yang membumi.

Mas Hambali mengajarkan satu hal penting: Bahwa hinaan bisa jadi anugerah, Dan pengakuan bisa jadi jebakan. Ia hidup bukan untuk tampil, Tapi untuk menapaki kebenaran—Setapak demi setapak, Dalam diam yang penuh makna.