DAMAIRA.CO.ID, SUMENEP-Adzan Maghrib baru saja selesai berkumandang. Suasana di perempatan Jalan Sludang, Desa Kolor, Kecamatan Kota, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, terasa begitu lengang.
Sesekali kendaraan roda dua dan roda empat melintas, memecah kesunyian dan cahaya lampu jalan yang temaram. Mayoritas pengendara terlihat mengenakan pakaian muslim, pertanda mereka sedang menuju masjid atau musala untuk beribadah.
Namun, di sisi utara perempatan Sludang, yang berlokasi tepat di sisi barat kantor Pemkab Sumenep, seorang pria sepuh, Dulrasu (73), baru saja menurunkan pikulan bambunya. Pikulan itu membawa dagangan sapu ijuk yang terbuat dari serabut kelapa.
Bertahan di Usia Senja
Dulrasu, warga Desa Larangan Barma, Kecamatan Batu Putih, telah berjualan sapu ijuk sejak tahun 1977. Sore itu, ia dihampiri sepasang suami istri yang membeli dagangannya.
“Biasanya saya bawa 30-an sapu ijuk. Harga yang kecil Rp10.000, kalau yang besar Rp15.000,” ujarnya sambil tersenyum.
Meski usianya sudah lanjut, Dulrasu tak pernah ingin merepotkan keluarga, termasuk kedua anaknya. Ia tetap gigih mencari nafkah, menawarkan sapu dari rumah ke rumah hingga ke pusat kota.
Setiap dua malam sekali, pria yang memiliki dua anak ini berangkat dari rumahnya sekitar pukul dua siang. Dengan menumpang taksi konvensional, ia menuju tugu ayam jago di Desa Pamolokan. Setelah itu, ia berjalan kaki menjajakan sapunya hingga dini hari.
“Kalau jualan siang sepi, lebih baik malam. Biasanya sampai Subuh,” tuturnya.
Perjuangan Tanpa Henti
Dulrasu menghabiskan malam dengan berkeliling ke beberapa desa, seperti Pamolokan, Bangkal, Kolor, hingga Pabian. Tak jarang ia hanya berhasil menjual 4-5 sapu. Namun, jika sedang beruntung, seluruh dagangannya laku terjual.
“Kadang dapat Rp50.000, kadang kurang,” ucapnya.
Ia masih ingat suatu ketika, seorang intel memborong seluruh sapunya di lampu merah Desa Pabian. Selain itu, Dulrasu juga diberi uang lebih sebagai bentuk apresiasi.
Meski hasilnya tak seberapa, Dulrasu tetap bersyukur. Ia hanya berharap tetap sehat dan bisa terus berjualan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Minim Perhatian dari Pemerintah
Selama 48 tahun berjualan, Dulrasu merasa tak banyak tersentuh oleh bantuan pemerintah. Ia mengaku hanya empat kali menerima bantuan tunai senilai Rp500.000, terakhir pada Oktober 2024.
Pernah, sekitar tahun 2004, rumahnya didata oleh dinas terkait, namun hingga kini bantuan yang dijanjikan tak pernah tiba. Meski demikian, Dulrasu tetap tabah dan meyakini semua telah diatur oleh Yang Maha Kuasa.
“Harapan saya cuma tetap sehat dan bisa terus jualan,” pungkasnya.
Kisah Dulrasu adalah potret perjuangan dan kemandirian di tengah keterbatasan. Semangatnya menjadi teladan, bahwa usia bukanlah penghalang untuk terus berusaha.(bl)