Membongkar Kejanggalan Penanganan Kasus ODGJ di Sumenep

oleh
oleh
Kuasa hukum pelapor, Marlaf Sucipto saat diwawancarai para awak media.

DAMAIRA.CO.ID, SUMENEP-Pada pagi 9 April 2025, sebuah pesta pernikahan di Desa Rosong, Kecamatan Nonggunong, Kabupaten Sumenep-berubah menjadi arena amuk dan ketegangan. Itu gegara ulah Sahwito—seorang warga yang tidak diundang—tiba-tiba menyerang tuan rumah dan beberapa pria yang mencoba menenangkan keadaan.

Beberapa orang terluka, termasuk Asip Kusuma, Musahwan, dan Abd. Salam.

Dua laporan polisi kemudian dibuat. Satu oleh keluarga Sahwito (10 April), satu oleh Asip (11 April). Keduanya terkait peristiwa yang sama. Namun nasib kedua laporan itu berakhir sangat berbeda.

Laporan keluarga Sahwito diproses cepat. Asip, Musahwan, Tolak Edi dan Su’ud ditetapkan tersangka, dan kini disidangkan dalam perkara 217/Pid.B/2025/PN.Smp.

Sebaliknya, laporan Asip dihentikan oleh Polres Sumenep melalui SP3 dengan alasan mengejutkan: terlapor dianggap mengalami gangguan jiwa berat sehingga “peristiwa pidana tidak ditemukan.”

Keputusan ini justru memicu rentetan pertanyaan.

Bagian 1

Bisakah Polisi Menyimpulkan Seseorang “Gila”?

Pertanyaan paling fundamental: bolehkah polisi menentukan seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana karena gangguan jiwa?

Menurut KUHP Pasal 44, status “gila” sebagai alasan pemaaf hanya dapat diputuskan oleh pengadilan, bukan penyidik.

Advokat Marlaf Sucipto menegaskan hal ini dalam keberatannya:

“Keputusan untuk menentukan gila atau tidak adalah wewenang lembaga yudikatif, bukan kepolisian.” terang Marlaf Sucipto dalam rilisnya kepada media, Selasa 9 Desember 2025.

Dengan demikian, SP3 yang diterbitkan atas dasar kesimpulan pejabat penyidik tentang kondisi jiwa Sahwito bertentangan dengan kerangka hukum.

Lebih jauh, jika benar Sahwito mengalami gangguan jiwa berat, maka penyidik seharusnya tetap melanjutkan penyelidikan untuk menentukan apakah tindakan itu memenuhi unsur pidana—dan kemudian menyerahkan penilaian pertanggungjawaban pidananya kepada hakim.

Bagian 2

Keterangan Saksi: BAP vs Realitas Persidangan

Temuan berikutnya menyentuh hal yang lebih sensitif: perbedaan keterangan saksi dalam BAP dan di persidangan.

Dua saksi yang awalnya dalam BAP menyebut adanya “saling pukul” antara Asip dan Sahwito, di ruang sidang menarik kembali pernyataannya. Mereka menyatakan tidak melihat adanya saling pukul, sebagaimana tercantum dalam berita acara pemeriksaan.

Menurut pengacara, dugaan pertanyaan penyidik bersifat menjebak dan tidak sesuai prinsip KUHAP tentang keterangan saksi.

Jika benar demikian, maka ini membuka ruang penyimpangan serius dalam proses penyidikan: apakah BAP disusun berdasarkan rekonstruksi penyidik atau fakta saksi?

Situasi ini makin mengaburkan objektivitas penyidikan, terutama bila digunakan untuk mendakwa Asip dkk dengan Pasal 170 dan 351 KUHP.

Bagian 3

Visum yang Lupa dan Visum yang Tak Pernah Ada

Dalam kasus kekerasan fisik, visum et repertum adalah bukti kunci. Tetapi dalam perkara ini, justru visum menjadi titik paling janggal.

Asip mengalami lecet, tetapi penyidik “mengaku lupa” isi visum di persidangan.

Musahwan dan Abd. Salam, yang jelas menjadi korban serangan Sahwito, tidak dibuatkan visum sama sekali.

Sementara itu, luka pada Sahwito muncul setelah ia terpeleset ke selokan.

Ketidakhadiran visum bagi korban utama membuat gambaran peristiwa menjadi timpang. Jika visum korban tidak ada, bagaimana unsur pidana pada laporan Asip bisa “disimpulkan tidak terbukti”?

Ketiadaan prosedur ini bukan hanya kelalaian administratif—tetapi menghilangkan hak korban untuk mendapatkan keadilan.

Bagian 4

Ahli Kejiwaan: Gangguan Jiwa Berat, Tapi Tetap Berkeliaran

Fakta paling mencemaskan datang dari keterangan dokter ahli jiwa dr Utomo dari RSUD Moh. Anwar Sumenep: Sahwito mengalami gangguan jiwa berat yang berpotensi membahayakan diri sendiri dan orang lain.

Namun warga dan Kepala Desa setempat menyatakan, hingga kini Sahwito masih bebas berkeliaran.

Kontradiktif.

Jika seseorang dinyatakan berbahaya oleh ahli, mengapa tidak ada tindakan pengamanan?
Jika SP3 diterbitkan dengan alasan ODGJ, mengapa mekanisme perawatan tidak dijalankan?

Ini bukan hanya masalah hukum, tetapi kegagalan sistem perlindungan publik.

Bagian 5

Dua Laporan, Dua Nasib

Ketimpangan terlihat mencolok:

LaporanPelaporStatusLP 10 April. Keluarga Sahwito diproses cepat, 4 orang jadi tersangka. Sedangkan LP 11 April, Asip (korban pemukulan) Di-SP3 dianggap sebagai “bukan pidana”

Padahal kedua laporan berkaitan dengan peristiwa yang sama, pelakunya jelas, korban jelas, saksi banyak, dan ahli menyebut Sahwito membahayakan.

Justru laporan korban ditutup, sementara korban dijadikan terdakwa.

Ini adalah ironi: korban menjadi pesakitan, pelaku dilepaskan tanpa pengadilan.

Apa yang Bisa Disimpulkan dari kasus kontroversi Ini?

Dari seluruh rangkaian temuan, beberapa pola menguat:

1. SP3 diduga tidak memenuhi dasar hukum karena polisi bukan lembaga yang berwenang menyimpulkan gangguan jiwa.
(Berdasarkan KUHP & pengalaman ahli hukum)

2. BAP saksi terindikasi tidak konsisten dengan keterangan di persidangan.

3. Prosedur pembuktian—terutama visum korban—diabaikan.

4. Penanganan ODGJ berisiko tinggi tidak dilakukan sesuai standar keselamatan publik.

5. Ketimpangan penanganan dua laporan dalam kasus yang sama menimbulkan pertanyaan serius.

Kasus ini bukan hanya soal Asip atau Sahwito, tetapi tentang bagaimana hukum bekerja—dan gagal bekerja—ketika berhadapan dengan ODGJ, kekerasan spontan, dan penyidikan yang tidak presisi.

*Menunggu Gelar Perkara dan Keberanian Institusi*

Advokat Marlaf Sucipto meminta Polres Sumenep membuka kembali penyelidikan melalui Gelar Perkara Khusus.
Jika dilakukan terbuka dan transparan, gelar perkara ini berpotensi menjadi titik balik untuk menguji apakah SP3 tersebut telah dikeluarkan sesuai standar hukum.

Selama itu belum terjadi, pertanyaan-pertanyaan kritis ini tetap menggantung:

Apakah polisi boleh menentukan seseorang “gila”?

Mengapa visum korban tidak dibuat?

Mengapa saksi bersaksi berbeda antara BAP dan persidangan?

Mengapa laporan korban justru ditutup, sementara korban dijadikan terdakwa?

Kasus ini belum selesai. Bahkan baru dimulai.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.