Warga Pagerungan Menjerit: Kekayaan Alam Dikeruk Tiga Dekade Hidup dalam Kekurangan

oleh
oleh
Pagerungan Sumenep

DAMAIRA.CO.ID, SUMENEP-Suara dentuman mesin pengeboran migas sudah menjadi “musik latar” keseharian warga Pulau Pagerungan Besar, Kecamatan Sapeken, Kabupaten Sumenep, sejak akhir 1993. Di sanalah eksploitasi salah satu ladang migas terbesar di ujung timur Madura dimulai. Namun, di balik arus miliaran dolar yang mengalir ke negara dan perusahaan, getir justru menjadi kenyataan bagi masyarakat lokal.

Sudah lebih dari tiga dekade kekayaan bumi dikuras, namun pertanyaan sederhana tak kunjung terjawab: apa yang rakyat setempat dapatkan?

Alih-alih menikmati hasil kekayaan alam dari bawah tanah mereka, warga Pagerungan Besar justru hidup dalam keterbatasan. Akses air bersih terbatas, listrik tidak merata, transportasi laut seadanya, dan banyak bangunan sekolah rusak. Di tengah gemuruh pengeboran, kehidupan warga tetap jalan di tempat.

Sementara itu, produksi migas dari Blok Pagerungan terus merosot. Data Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM mencatat penurunan signifikan: dari 68 BOPD pada 2020 menjadi 64 BOPD di 2021, dan hanya 55 BOPD pada 2022. Tetapi, kemiskinan struktural tetap bertahan, seolah tak ada hubungan antara eksploitasi dan kesejahteraan.

Kini, PT Kangean Energi Indonesia (KEI) Ltd mengalihkan fokus ke Blok Terang Sirasun Batur (TSB), yang juga berada di sekitar wilayah kepulauan. Kekhawatiran pun kembali mencuat: akankah masyarakat kembali jadi penonton?

“Kami sudah 30 tahun cuma jadi penonton. Yang kaya Jakarta, yang rusak kami,” kata Ketua Masyarakat Urban Kangean-Bali, Rahman Fauzan, Rabu (25/6).

Menurutnya, penolakan terhadap survei seismik dan rencana eksploitasi migas di Pulau Kangean bukan tanpa alasan. Dari risiko pencemaran laut, rusaknya ekosistem, hingga hilangnya mata pencaharian nelayan — semua itu sudah pernah terjadi.

Ia menegaskan, aktivitas pertambangan di pulau kecil secara hukum dilarang. UU No. 1 Tahun 2014 menyebut bahwa pulau kecil, seperti Kangean yang hanya 648,6 km², seharusnya digunakan untuk konservasi, pendidikan, dan perikanan lestari, bukan pertambangan. Pasal 35 huruf (j) secara eksplisit melarang aktivitas migas yang merusak secara ekologis, sosial, atau budaya. Hal ini diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-XXI/2023.

Fauzan juga mengkritik proses perizinan dan AMDAL yang selama ini dinilai minim partisipasi publik. “Jangan sampai izin hanya jadi formalitas. Rakyat selalu jadi korban,” tegasnya.

Ia pun mengingatkan pemerintah agar tidak mengulangi kesalahan fatal seperti yang terjadi di Republik Nauru — negara yang porak-poranda akibat eksploitasi sumber daya alam.

“Jangan tunggu bencana datang dulu baru menyesal,” pungkasnya.

Di sisi lain, pihak PT Kangean Energi Indonesia (KEI) tampak enggan memberikan keterangan. Agus Indra Prihadi menolak diwawancarai, dan meminta wartawan menghubungi manajer perusahaan, Kampoi Naibaho. Namun, Kampoi juga belum memberikan tanggapan substansial.

“Mohon maaf om, saya sedang di luar. Nanti kami pelajari dulu dan koordinasikan secara internal,” jawabnya singkat, Rabu (25/6).

Sementara itu, dari unsur pemerintah daerah, Kabag Perekonomian dan Sumber Daya Alam Pemkab Sumenep, Dadang Dedy Iskandar, juga belum memberikan penjelasan. “Besok sore, bro,” katanya singkat saat dikonfirmasi.

Keluhan masyarakat yang terus mengendap selama puluhan tahun kini kembali mengemuka — menuntut keadilan, kepastian hukum, dan perlindungan atas hak hidup yang layak di tengah bayang-bayang industri ekstraktif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *