DAMAIRA.CO.ID, SUMENEP-Sore itu, setelah menikmati secangkir kopi, saya beranjak menuju sekretariat KJS saat adzan magrib berkumandang. Setibanya di sana, saya segera melaksanakan shalat magrib. Awalnya, saya berencana langsung pulang, tetapi saat sedang mengutak-atik ponsel, saya melihat berita yang menarik. Saya pun merekam layar, mengeditnya, lalu membagikannya ke beberapa grup.
Tiba-tiba, suara ponsel Abil, yang berada di dekat saya, berbunyi. “Mas, kok masih di sini? Sana pulang aja, nggak apa-apa, saya sendiri,” ujarnya.
“Beneran kamu nggak takut sendirian, Bil?” tanya saya.
“Gak, Mas. Saya sudah terbiasa sendirian di KJS malam-malam,” jawabnya santai.
Saya pun bersiap pulang. Namun, sebelum sempat melangkah, ponsel saya berdering. Istri menelepon, meminta saya mencetak beberapa gambar hewan yang dikirim lewat WhatsApp untuk panduan belajar menggambar Adik Damara di rumah. Akhirnya, saya kembali ke dalam dan mulai mencetak gambar-gambar tersebut.
Saat sedang fokus mencetak, tiba-tiba saya merasakan sesuatu yang aneh di leher. Spontan, saya mengusapnya, lalu muncul rasa gatal. Setelah saya lihat, ternyata ada ulat bulu! Saya pun menggerutu sambil menggaruk-garuk leher yang terasa gatal.
Selesai mencetak, saya segera pulang dengan niat langsung mandi setibanya di rumah. Namun, saat berhenti di lampu merah dekat terminal, saya melihat indikator bensin di motor sudah berada di posisi merah, tanda kritis. Dalam hati, saya berpikir untuk mengisi di pom bensin STKIP. Namun, sesampainya di sana, hanya ada pertamax. Saya merasa sayang mengisi dengan bahan bakar yang lebih mahal, jadi saya memutuskan untuk mengisi di Saronggi saja, karena saya yakin bensin masih cukup sampai ke sana.
Sayangnya, di tengah perjalanan, tepatnya di daerah Nambakor, motor saya tiba-tiba mati—kehabisan bensin! Rasa kesal dan menyesal bercampur jadi satu. Dengan perasaan cemas, saya mulai mendorong motor di tengah gelapnya malam. Pikiran saya bercabang: takut dirampok atau bertemu sesuatu yang menyeramkan, mengingat Nambakor dikenal sebagai jalur tengkorak.
Saat saya mulai lelah, tiba-tiba seorang bapak tua berhenti dan bertanya, “Kenapa, Dik?”
“Kehabisan bensin, Pak,” jawab saya.
“Biar saya carikan bensin, tunggu di sini,” katanya sebelum pergi. Saya merasa sedikit lega, meski tetap perlahan mendorong motor sambil menunggu bapak itu kembali.
Tak lama kemudian, sepasang muda-mudi juga berhenti dan menanyakan apa yang terjadi. Saya kembali menjelaskan bahwa saya kehabisan bensin. Mereka pun bergegas pergi, berniat mencarikannya juga. Saya bahkan belum sempat memberi tahu bahwa sudah ada bapak tua yang lebih dulu menawarkan bantuan.
Dalam hati, saya mulai berpikir, “Ini sudah dua pihak yang mencarikan bensin untuk saya. Bagaimana kalau mereka berdua tidak mendapatkannya? Atau bagaimana kalau mereka orang jahat?” Pikiran-pikiran itu berputar di kepala saya.
Sesampainya di jembatan Nambakor, bapak tua tadi datang membawa bensin dalam botol air mineral besar. “Harganya sepuluh ribu,” katanya. Saya berniat membayar dua puluh ribu sebagai bentuk terima kasih, tetapi ia bersikeras hanya menerima sepuluh ribu.
“Saya juga orang jalanan,” katanya. “Saya punya anak yang merantau jauh.”
Saya pun berterima kasih dengan tulus. Begitu bapak itu pergi, sepasang muda-mudi tadi datang membawa bensin juga. Saya kembali mengucapkan terima kasih dan membayar mereka. Akhirnya, motor saya justru penuh dengan bensin!
Saya terdiam sejenak, merenungi kejadian malam ini. Ada satu pelajaran yang saya dapat: rezeki itu tidak akan salah alamat. Meski saya sudah memiliki uang di genggaman, karena merasa sayang mengisi bensin di pom, akhirnya uang itu menjadi rezeki penjual bensin eceran.
Kesimpulannya, sebanyak apa pun uang yang kita miliki—baik di dompet maupun di bank—belum tentu itu benar-benar milik kita. Bisa jadi, itu adalah rezeki orang lain yang nantinya akan sampai ke tangan mereka pada waktunya.
Salam, hidup penuh misteri. Semoga kisah ini bisa menginspirasi.