Membungkam Suara Arus Bawah?

oleh
oleh

DAMAIRA.CO.ID, SUMENEP-“Pabannya’ ngundang warga. Pasampe’ saébu. Urusan konsumsi sengko’ sé bakal nanggung. Sengko’ nyambellia sapé ” (Undang warga yang banyak. Sampai seribu sekalipun tidak masalah. Saya yang akan nanggung konsumsinya. Saya akan menyembelih sapi).

Ucapan warga di atas disampaikan pada teman saya yang menjadi panitia deklarasi untuk kemenangan pasangan nomer 01. Teman saya kaget, begitu tulusnya dukungan masyarakat kecil terhadap KH Ali Fikri dan KH Unais Ali Hisyam. Peristiwa seperti ini terjadi di mana-mana. Di banyak tempat. Tak terhitung jumlahnya.

Pernahkah Anda mendengar seorang pemilik sablon yang tidak kenal Mas Kiai menggratiskan sablonnya khusus bagi simpatisan Mas Kiai? Orderan lain dia tolak hanya untuk menunjukkan dukungannya sama Mas Kiai? Bahkan pemilik sablon ini ingin bertemu dengan beliau sekedar untuk bersalaman, tanpa ada maksud membuka identitasnya bahwa sablonnya digratiskan untuk mendukung Mas Kiai?

Pernahkah Anda bayangkan seorang bapak menyumbangkan seekor ayam untuk dijadikan lauk dalam silaturrahim untuk kemenangan Mas Kiai? Ini terjadi bukan di satu tempat, bukan pula di satu desa. Semua rakyat bahu-membahu membangun kebersamaan secara swadaya buat pasangan calon FINAL. Yang terlibat bukan hanya dari kalangan santri (dalam pengertian ketat yang pernah mondok) saja. Yang memiliki background “pendidikan umum” juga banyak yang menyatu.

Dalam sejarah pilkada di Sumenep, saya tak pernah menemukan peristiwa seperti ini. Mungkin bukan hanya di Sumenep , di Indonesia barangkali sangat jarang perisitiwa seperti ini terjadi. Menarik, bagaimana peristiwa ini harus kita baca?

Ada yang mungkin menafsirkan sebagai bentuk ketundukan tanpa reserve dari seorang santri kepada kiainya. Ia memahaminya dari sudut pandang relasi kiai-santri. Dengan bahasa yang sedikit “ngennyik”, ini merupakan efek dari permainan politik identitas. Politik identitas seakan barang tabu yang mestinya tidak boleh dijadikan isu kampanye. Politik dianggap sebagai wilayah profan yang sarat kepentingan. Sementara kiai sebagai representasi agama yang lebih tepat menjadi penjaga moral.

Okey, kalau tidak mau menggunakan katagori politik identitas, maukah orang yang selalu mengkritik politik identitas menggunakan katagori “kelas” untuk memahami fenomena ini? Mungkin ada yang bertanya lagi, bukankah kiai itu bagian dari “elite class”? Ya, tetapi jauh berbeda dengan “elit class” pada kelompok sosial yang lain. Kiai sosok elit yang sehari-harinya digunakan untuk menemani rakyat, bercengkrama sambil bersila penuh kesetaraan dengan rakyat, dan menampung segala macam bentuk curhat rakyat. Dan saya menyaksikan, secara sosial ekonomi pendukung FINAL ini berasal dari kelas bawah, yang tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik sekaligus.

Di ruang inilah pertemuan mereka. Rakyat seakan menemukan sosok baru yang memberi harapan baru di tengah kondisi politik yang menampilkan kepemimpinan yang tidak ” genuin “, tidak mengakar, penuh polesan, dan berjarak. Sang calon tulus maju tanpa beban masa lalu. Energi sang calon ditangkap dengan tulus pula oleh rakyat yang penuh energi mendukungnya. Energi menjadi pusaran, melebar, kian lebar terus melebar hingga pelosok kampung, daratan dan kepulauan. Tak ada kekuatan yang bisa membungkam. Tak ada kekuatan yang bisa menyetop.

Inilah yang menggerakkan mereka membangun keguyuban dengan mencetak banner, baliho, dan T-shirt sendiri. Inilah yang mendorong baliho tegak di jalan raya atas prakarsa sendiri. Inilah yang mendorong relawan bergerak lintas desa, kecamatan, dan pulau mendampingi sang calon yang di tulus dan tidak ada capek-capeknya. Inilah’ yang membakar semangat relawan hingga mengalir dalam bentuk simponi di pergelaran musik, di Kota Sumenep maupun di Karduluk. Inilah yang menyulut energi mereka menyediakan konsumsi untuk semua yang hadir dalam acara deklarasi atau kampanye FINAL. Tak ada sponsor, tak ada amplop dari calon, dan tak ada bagi-bagi angpao bagi yang hadir. Suatu gambaran yang terang menjelaskan bahwa rakyat betul-betul berdaulat dan mandiri menentukan pemimpinnya sendiri. Bukankah realitas ini bentuk dari politik kemandirian?

Rupanya suara arus bawah ini membuat panik dan gentar kubu lawan. Semua jaringan birokrasi digerakkan. PLT Bupati (kasusnya dilimpahkan oleh Bawaslu ke Polres) tidak netral, camat memihak, kades ditekan (dugaan ada aparat hukum yang silaturrahim ke kepala desa), sebagian penyelenggara melipat netralitasnya (ada yang dipecat dan atau mengundurkan diri), dan segala macam cara yang menurut saya sudah masuk dalam katagori “menghalalkan segala cara”.

Sang Bos harus turun tangan mendatangi kecamatan-kecamatan, mengumpulkan kelompok masyarakat dengan beragam profesi tentu juga dengan memberi angpau. Di salah satu video Sang Bos mengharapkan bupati yang di supportnya menang, melengkapi kemenangan partainya sehingga berhak menduduki jabatan ketua DPRD Sumenep. Ini merupakan babak baru dalam sejarah politik di Sumenep, sesuatu yang pantas Sang Bos rayakan.

Apakah kekuatan modal, jaringan birokrasi, dan kemungkinan memperalat penyelenggara bisa membungkam suara arus bawah? Saya tidak yakin. Mereka memiliki cara dan strategi cerdas yang mereka putuskan sendiri untuk menghadapi segala macam perubahan cuaca. Ketulusan telah menggerakkan mereka untuk menjadi relawan militan. Tulus dan militan sulit untuk dibeli.

Ada tokoh sepuh di desa yang bilang, “kalau nerima duit sulit untuk ditolak dan sayang dibuang, jangan sampai masuk perut. Belikan Ban motor saja, biar sama-sama hitamnya dengan uang dan pemberinya”.

Sepertinya paska pilkada, toko Ban akan laris manis. Siap untuk diborong penerima duit, harta hasil “rampasan perang”.

Cuma pendukung yang tulus dan militan sebaiknya tegas menolak politik uang.

Salam perubahan
*DARDIRI ZUBAIRI*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.