Masih Tentang Kotak Kosong

oleh
oleh

Oleh : Fathol Alif

(Jawaban atas Tulisan NK Gapura “Pilkada Sumenep dan Kotak Kosong Fathol Alif”)

DAMAIRA.CO.ID, SUMENEP-Sebelumnya, saya telah menulis catatan spontan, bahwa Pilkada Sumenep tetap perlu digelar meski hanya dengan calon tunggal. Tulisan itu sebagai tanggapan atas catatan seorang teman berjudul “Pilkada Sumenep tak perlu digelar” karena, berdasarkan kabar burung yang dia dapat, para elit politik telah bersepakat untuk membentuk koalisi besar. Dia khawatir, meski digelar, Pilkada Sumenep bakal jadi “ritual” yang tak lagi sakral jika hanya diikuti calon tunggal.

Catatan yang saya buat sebelumnya ternyata mendapat respons balik dari teman saya—sebut saja namanya Abil (meski namanya Nur Khalis). Dalam catatan terbarunya, dia tak yakin bahwa kotak kosong bisa menjadi alternatif jika pada Pilkada Sumenep nanti betul-betul hanya diikuti satu pasangan calon.

Melalui catatan kedua ini, saya ingin menegaskan bahwa kotak kosong masih bisa jadi alternatif utama bagi masyarakat yang ingin mengekspresikan ketidaksetujuannya terhadap satu-satunya pasangan calon dalam Pilkada (jika memang terjadi) atau sebaliknya; mengalahkan kotak kosong itu dengan telak untuk memastikan, bahwa satu-satunya pasangan calon yang ada memang layak untuk memimpin.

Selebihnya, saya juga ingin menjawab satu pertanyaan kawan saya dalam catatan terbarunya: apakah menggelar Pilkada dengan kotak kosongnya bisa menjamin politik pragmatis akan hilang begitu saja?

Jawaban saya juga “tentu saja tidak!” Sama dengan tidak adanya jaminan politik pragmatis akan hilang begitu saja ketika hanya disikapi dengan pesimisme, seperti mendorong supaya Pilkada tak perlu digelar jika kemungkinan besar hanya akan diikuti calon tunggal.

Politik pragmatis, yang seringkali diidentikkan dengan praktik politik tanpa prinsip dan mengutamakan kepentingan jangka pendek, justru akan semakin merajalela jika tanpa Pilkada atau keterlibatan langsung masyarakat. Tanpa Pilkada, kontrol terhadap proses pemilihan pemimpin bisa jadi akan beralih sepenuhnya ke tangan para elite politik.

Jika itu yang terjadi, maka saya berkeyakinan kita akan melihat semakin banyak praktik politik transaksional, di mana keputusan politik diambil berdasarkan keuntungan finansial atau kekuasaan jangka pendek, bukan untuk kepentingan rakyat. Tanpa adanya tekanan dari proses pemilihan, para elit akan lebih cenderung untuk membuat kesepakatan di balik layar.

Menjaga eksistensi Pilkada, meski hanya diikuti satu pasangan calon, saya rasa tetap penting untuk memastikan denyut nadi demokrasi masih ada, dan bonosnya politik pragmatis tidak akan semakin merajalela dan merusak tatanan demokrasi kita.

Saya bukan mau gagah-gagahan, atau menjadi orang yang seakan paling optimistis, bahwa Pilkada, dengan kotak kosongnya, bisa menjadi obat mujarab yang bisa menghilangkan politik pragmatis. Tidak! Pilkada memang tidak bisa serta merta menjadi solusi tunggal menghilangkan politik pragmatis, tapi menghapusnya, minimal untuk saat ini, justru akan membuat keadaan semakin kritis.

Akhir kata, kotak kosong di Pilkada tetap akan lebih ada manfaatnya dibandingkan dengan kotak kosong yang hutuf K-nya di kata “kotak” dihilangkan. Salam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.