Calon Tunggal, Antara Krisis Kepemimpinan dan Ancaman Demokrasi

oleh
oleh

DAMAIRA.CO.ID, SUMEMEP-Menanggapi pandangan Jurnalis senior di Sumenep, Hambali Rasidi Bahwa calon tunggal di pilkada sah-sah saja, hal itu berdasar sebagaimana   Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XII/2015. Artinya Hanya perlu 50% dari total suara sah untuk dinyatakan menang. Seperti keterangan UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016.

Pandangan Mas Hambali ini bukan tanpa alasan berhubung tidak lama lagi pesta demokrasi pilkada di tingkat daerah serentak akan digelar. Tentunya Mas Hambali mengamati dinamika politik khususnya di Kabupaten Sumenep, yang tidak menutup kemungkinan hal demikian bisa saja terjadi. yang kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan, kira-kira siapa Cabup dan Cawabupnya?.

Berangkat dari pandangan itu, penulis merasa ada hal yang janggal dalam pemikiran. Kalau misalkan calon tunggal betul terjadi, berarti ini fenomena baru dan bisa dibilang sejarah baru di kota keris, di tengah-tengah bangsa ini menjunjung tinggi demokratisasi. Atau jangan-jangan ini merupakan bentuk kemunduran dari demokrasi yang sudah lama digaungkan di negeri ini. 

Padahal diketahui bersama, dalam demokrasi langsung yang diterapkan oleh Indonesia, ada sendi-sendi moralitas politik yang harus dipegang erat bangsa Indonesia. Moralitas yang dimaksud adalah dalam proses pemilihan, bahwa suara rakyat adalah nilai tertinggi yang harus dijadikan patokan dalam menyelenggarakan pemilihan.

Hal ini termasuk dengan pilihan calon pemimpin masyarakat karena oligarki politik di suatu negara mampu meruntuhkan sebuah sistem pemerintahan di suatu negara itu. 

Calon tuggal pada pilkada pasca reformasi merupakan pertanda muncul kembalinya neo-oligarki pada sistem demokrasi modern. Ini disebabkan pemilih dipaksa memilih hanya orang-orang tertentu atas usulan partai politik dan tidak dibuka selebar-lebarnya pintu lain untuk dapat masuknya calon kepala daerah. Aturan yang dibuat terkait threshold adalah salah satu pemicu mempersempit ruang partisipasi masyarakat pada ajang pilkada untuk mencari dan memilih pemimpin berkualitas berdasarkan hati nurani masyarakat.

Indikator kualitas demokrasi dapat diukur dalam beberapa aspek, yaitu: pluralisme dan proses pemilu, partisipasi masyarakat, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil. Dalam kategori tersebut, pada tahun 2020, Indonesia masuk pada kategori flawed democracy atau demokrasi yang cacat dan menduduki peringkat ke 65 dengan skor 6.30. Data tersebut sejalan dengan fenomena demokrasi yang terjadi di Indonesia, bahwa partisipasi masyarakat dan politik semakin tergerus karena menurunnya kepercayaan masyarakat kepada partai politik dan meningkatnya calon tunggal pada pemilihan kepala daerah.  

Meski demikian, trend calon tunggal ternyata bukan barang tabu, karena sudah pernah terjadi di berbagai daerah di negeri ini. Pada tahun 2015 ada sekitar 3 calon tunggal, pada 2017 ada 9 calon tunggal, 2018 ada 16 pasangan calon tunggal pada perhelatan pilkada yang didominasi petahana, (https://langgam.id/ jumlah-calon-tunggal-di-pilkada-meningkat-didominasi-petahana/, https://www.cnnin- donesia.com/nasional/20200914110840-20-546143/pendaftaran-pilkada-ditutup-25-daerah-diisi- calon-tunggal,).

Partai politik sebagai socio-political sphere (infrastruktur politik), adalah wadah bagi masyarakat untuk berekspresi, penyambung lidah suara masyarakat sebagai perwujudan dari negara demokrasi, dan mampu mengkader calon-calon pemimpin mulai dari tingkat daerah hingga nasional, baik di dalam maupun di luar kepartaian. Namun praktik-praktik partai politik hari ini dalam melakukan rekrutmen bakal calon bersifat tertutup dan elitis tanpa menghiraukan kualitas calon pemimpin masyarakat, sehingga yang terjadi adalah menurunnya kualitas demokrasi, dan terjadinya krisis kepemimpinan di daerah.

Kritik pada praktik calon tunggal yang terkesan menegasikan nilai-nilai demokrasi, sebagaimana yang disampaikan oleh Abraham Lincoln dalam salah satu pidatonya yang mengatakan “that government of the people, by the people, for the people“ yang artinya adalah bahwa suatu pemerintahan itu berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Selain itu juga, dalam suatu tatanan negara demokrasi, suara rakyat adalah diatas segalanya karena hakikat demos dan kratos adalah pemerintahan berasal dari kekuasaan rakyat, hal ini sejalan dengan istilah latin vox populi vox dei, yang artinya adalah suara rakyat adalah suara Tuhan. 

Wallahu’alam Bissoweb

Pecinta Kopi Hitam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.