Etika dan Moralitas dalam Berpolitik

oleh
oleh

(Telaah Pemikiran Kritis Budayawan Ipnu Hajar dalam mempertahankan “Politik Budaya, Bukan Budaya Politik”)

DAMAIRA.CO.ID, SUMENEP-Indonesia sebagai negara hukum sangat menjujung tinggi prinsip-prinsip etika dan moralitas. Etika dan moralitas merupakan sistem nilai yang dituangakan dalam hukum/norma, kemudian menjadi norma yang mengatur kehidupan manusia untuk berinteraksi sosial. Menurut Jimly Asshiddiqie antara etika/moral dan hukum/norma, adalah ibarat lautan sebagai etika/moral dengan hukum/norma sebagai kapalnya.

Etika kehidupan berbangsa telah diatur dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, di dalam konsederannya berbunyi: “untuk mewujudkan cita cita luhur bangsa Indonesia sesuai Pembukaan UUD 1945 tersebut, diperlukan pencerahan sekaligus pengamalan etika kehidupan berbangsa bagi seluruh rakyat Indonesia. ”Selanjutnya bahwa “Etika kehidupan berbangsa dewasa ini mengalami kemuduran yang menyebabkan terjadi krisis multidemensi”. Untuk itu diperlukan adanya rumusan tentang pokok-pokok etika kehidupan berbangsa sebagai acuan bagi pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia dalam berdemokrasi.

Lalu bagaimana ketika etika juga ditarik ke ranah politik kekuasaan yang berkaitan dengan kepentingan publik. Seperti yang sering disuarakan salah seorang Budayawan Sumenep, Ibnu Hajar bahwa dalam pengamatannya belakangan pelaku politik cenderung mengabaikan “Politik Budaya” justru sebaliknya membiasakan budaya politik yang timpang. Nah, untuk itu butuh kesadaran bersama utamanya bagi pelaku politik bagaimana menempatkan etika sebagai pondasi terpenting dalam merawat jalannya demokrasi di negeri ini. Apalagi masyakat indonesia yang sejauh ini masih menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moralitas dalam bangunan kehidupan sosial sehingga menjadi ikatan yang sangat kuat dalam mempertahankan persatuan dan kesatuan dalam bingkai NKRI.

Hanya saja dalam tataran praksisnya utamanya yang berkenaan dengan suksesi atau dalam bahasa lumrahnya “Pesta demokrasi” mulai dari pra hingga pasca momentum lima tahunan itu. Banyak hal masih ditemukan hal-hal yang timpang. Bahkan sering kita lihat sejumlah politisi lompat sana lompat sini yang terkesan “Ambisi kekuasaan” yang disinyalir tidak murni memperjuangkan kepentingan rakyat melainkan sebuah upaya melanggengkan kekuasaan yang bersifat pribadi dan golongan.

Bahkan lebih miris lagi dan sepertinya sudah menjadi tradisi pasca hajatan demokrasi, entah itu Pilpres, Pilgub dan pil-pil lainnya, sudah pasti yang mencuat ke permukaan terkait persoalan pembagian kekuasaan. Siapa saja yang akan ditempatkan di pos-pos strategis untuk membantu menjalankan roda kepemimpinannya.

Terlepas apakah orang yang ditempatkan itu nantinya sesuai tidaknya dengan kemampuan dan kapasitas yang dimiliki. Karena diakui, seorang pemimpin yang telah berhasil merebut kekuasaan bukan berangkat dari tangan kosong, apalagi menggunakan “Binsalabin” sesuatu yang mustahil. Sehingga seolah menjadi wajar dan menjadi lumrah siapa yang mendukungnya akan besar kemungkinan menduduki jabatan empuk tersebut. Kalau dalam istilah Maduranya,”Tengka, bede pakon ye paste bede pakan”.

Artinya, secara kasat mata, orang yang akan ditempatkan di posisi strategis itu sudah terbaca. Salah satunya dari unsur partai politik yang mengusungnya. Tradisi semacam itu bukan hal yang baru di negeri ini. Jadi, dengan begitu penempatan jabatan strategis itu, bukan murni semata-mata karena dorongan profesionalitas melainkan bisa dibilang kompensasi atau yang lebih ekstream lagi, karena faktor tekanan internal.

Cuma yang aneh, ketika memang dari awal tidak mendukung, atau bisa dibilang memang mustahil untuk mendukung, ibarat langit dan bumi. Tiba-tiba sok jadi pahlawan kesiangan meminta jatah dengan mengklaim akan memperbaiki keadaan ke arah yang lebih baik. Sikap semacam itu sangat tidak cocok dengan budaya lokal di negeri ini yang kental dengan istilah,”Etika dan moralitas dalam berpolitik”.

Mestinya pihak yang jelas-jelas tidak mendukung bersikap lebih dewasa dan jantan. Dengan tetap konsisten berjuang di jalurnya. Yaitu menjadi penyeimbang, pengontrol, penginspirasi serta sebagai kritik yang konstruktif guna tercapainya kesuksesan pembangunan yang dicita-citakan bersama.

Catatan penulis, siapapun pemimpin yang terpilih, diharapkan mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi, kelompok atau golongan tertentu. Dengan menempatkan orang-orang yang memang punya kemampuan di bidangnya. Tanpa harus mengenyampingkan pihak-pihak lain yang telah mendukungnya. Karena pemimpin sejatinya menyangkut kepercayaan, harapan, keyakinan rakyat untuk membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik lagi. Wallahu’alam Bissoweb.

Penulis, Pecinta Kopi Hitam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.